Alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan jelas menegaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Akan tetapi dalam implementasi tujuan dan cita-cita kemerdekaan tersebut, masih sangat jauh dari yang kita harapkan bersama. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana salah satunya melalui pendidikan formal, kini menjadi kian berat bagi masyarakat. Tidak hanya biaya pendididikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, namun juga budaya (culture) dalam lingkungan pendidikan, sungguh sangat memperihatinkan. Beragam bentuk ketidakadilan serta tontonan praktek kekerasan dan otoritarianisme dari para pemangku kepentingan (stakeholder) dunia pendidikan, kini kian mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya Diam
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Ibu Siami yang diusir dari kampung sendiri akibat upaya melaporkan kecurangan saat ujian sekolah anaknya di Surabaya[1], pemecatan secara sepihak oleh pihak yayasan terhadap beberapa guru SD bertaraf internasional di Makassar[2], hingga tindakan PHK hanya melalui SMS oleh Kepala Sekolah terhadap seorang guru honorer di Maluku[3], adalah beberapa kasus dari sekian banyak fakta yang membuktikan bahwa sistem pendidikan Indonesia, tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Tujuan pendidikan sejatinya adalah memanusiakan manusia. Membantu seseorang untuk menjadi pribadi yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosialnya, serta menempatkan persoalan kemanusiaan diatas segalanya. Bukan malah mengajarkan untuk bertindak otoriter dan seenaknya berdasarkan kepentingan pribadi.
Berbagai kasus yang belakangan ini hangat diberitakan, terang saja melahirkan pertanyaan ditengah masyarakat, “Apakah dunia pendidikan mengharuskan anak didik menerapkan budaya diam dan patuh, agar terhindar dari masalah?” Sebab selama ini, pertanyaan dan kritikan tidak lagi dimaknai sebagai sarana evaluatif untuk membangun dunia pendidikan yang lebih baik. Namun justru dianggap ancaman, ketidakpatuhan ataupun pembangkangan. Ini mengigatkan kita dengan pola kekuasaan Orde Baru, yang sangat membenci kritik dan pertanyaan atas kekuasaannya. Melalukan kritik dan pertanyaan dimasa itu, berarti harus siap berhadapan dengan senjata dan penjara. Sehingga lahirlah apa yang kita sebut dengan budaya diam (culture silent), dimana masyarakat harus tunduk dan menerima setiap kehendap pemerintah, tanpa boleh bertanya sedikitpun. Budaya diam tentu saja merupakan hal yang bertolak belakang dengan roh pendidikan kita. Pendidikan justru harus berperan dalam membangun kesadaran dan jiwa kritis. Dengan demikian, maka pendidikan dapat memberikan tuntunan bagi seseorang untuk memiliki hidup dan kehidupan yang berkualitas dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain secara bersamaan.
Sebagaimana amanah dari konstitusi Negara kita Pasal 28C Ayat (1), yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Untuk itu, budaya diam adalah musuh utama dari pendidikan kita. Pertanyaan dan kritikan justru menjadi keharusan jika kita menginginkan lingkungan pendidikan yang lebih maju dan berkembang. Sebab segala sesuatu didunia ini selalu dimulai dengan pertanyaan, kritik, protes, hingga tindakan nyata. Seseorang yang mulai melancarkan pertanyaan, menandakan tingkat keinginan yang kuat untuk mengenali lingkungannya, bukan sebaliknya.
Kritik vs Pembungkaman
Berpendapat adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi, dimana UUD Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ini merupakan hak lahiriah atau bawaan yang dimiliki oleh setiap orang, tanpa terkecuali. Dan tugas pokok Negara melalui Pemerintah, adalah menjamin kebebesan berpendapat tersebut, tanpa harus membatasi secara kaku dengan aturan tertulis semata. Dalam konteks pendidikan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945. Dan barang siapa yang merasa hak tersebut terbatasi, bahkan cenderung dihalang-halangi, maka adalah sesuatu yang wajar untuk melancarkan protes dan tuntutan, walaupun sekedar dalam bentuk kritikan maupun pertanyaan. Mereka yang menghalang-halangi hak untuk mengkritik, justru menjadi musuh utama Negara. Bahkan dapat dikatakan, telah menginjak-injak amanah konstitusi dasar kita.
Seperti yang dialiami oleh Yoga dan Yogi (8 tahun). Dua siswa kembar kelas II SDN Sitirejo IV, Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini, dikeluarkan bahkan ditolak oleh sekolahnya. Penolakan pihak sekolah dikarenakan kritik dan laporan dari orang tua Yoga dan Yogi, terkait dengan masalah keuangan dana BOS yang tak jelas peruntukkannya, disiplin sekolah, serta monopoli kepala sekolah dalam berbagai hal[4]. Nampak jelas bahwa pihak sekolah sangat mentabukan kritik, protes ataupun pertanyaan. Padahal sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan kritik dari orang tua Yoga dan Yogi tersebut. Pada prinsipnya, kritikan adalah buah pelajaran penting yang sekiranya dapat diserap oleh anak didik, agar dimasa yang akan datang memilik sikap berani dalam memperjuangkan ketidakadilan yang terjadi disekelilingnya.
Sikap anti kritik, yang ditunjukkan oleh pihak pengelola pendidikan, muncul akibat beberapa faktor. Pertama, kecenderungan budaya feodal, yakni suatu sikap dimana seseorang merasa memiliki derajat yang lebih tinggi berdasarkan jabatan dan kepangkatan, sehingga merasa orang dibawahnya, jauh lebih rendah dan tidak pantas memberikan kritik, apalagi protes terhadapnya. Kedua, sentralisme atau penumpukan kekuasaan terhadap segelintir orang saja. Dengan demikian, penumpukan kekuasaan ini cenderung membuat seseorang bebas bertindak dan melalukukan apa saja. Ketiga, Partisipasi yang lemah, khususnya pada level pengambilan keputusan atau kebijakan pendidikan. Dan Keempat, transparansi kebijakan, khususnya menyangkut pengelolaan keuangan. Indikasi penyimpangan keuangan, bisanya membuat seorang pengelola menutup diri rapat-rapat dengan berusaha sekeras mungkin menjauhkan dirinya dari kritikan.
Sekali lagi, pola pendidikan anti kritik ini mengingatkan kita dengan masa Orde Baru. Masa dimana berjuta kesalahan tengah dipratekkan tanpa menghargai hak setiap warga negara untuk berpendapat, bahkan mengkritik setiap kebijakan yang dianggap tidak adil dan merugikan. Kita tentu tidak ingin kembali ke masa Orde Baru yang otoriter tersebut. Untuk itu, tugas dan tanggung jawab kita bersama bagaimana membangun budaya dilingkungan pendidikan yang terbuka akan kritik, sebagai masukan agar jauh lebih baik dimasa yang akan datang.
Herdiansyah Hamzah – Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
[2] Sumber : http://www.facebook.com/notes/hamran-sunu/sebuah-surat-dari-guru/1403994997851. Diakses tanggal 20 Juni 2011
[3] Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2011/07/11/15105471/Guru.SD.Ini.Dipecat.Kepsek.Lewat.SMS. Diakses tanggal 10 Juli 2011.
[4] Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2011/07/11/16032140/Orangtua.Kritik.SD.Anaknya.Dikeluarkan. Diakses pada tanggal 14 Juli 2011.
http://kaltimonline.com/pendidikan-anti-kritik/
0 komentar:
Posting Komentar